Sudah tiga hari terakhir ini saya dilanda kejenuhan luar biasa di tempat
kerja. Entah karena memang jenuh atau sakit hati dengan instansi yang menaungi
saya sekarang ini. Pagi ini saya mulai dengan mengetik “radarlangit” di kotak seluncur
saya. Sedetik kemudian muncul nama “irero” di deretan teratas hasil seluncur.
Wow, keren juga perempuan satu ini. Dia sukses menempatkan blog pribadinya ke
urutan teratas mesin pencari.
Semalam, dia bbm meminta saya
menulis lagi untuk dia post di blognya
ini. Saya ketawa aja. Bukannya apa, dia tahu betul saya mandul nulis 2 tahun
terakhir ini. Sejauh ini saya cuma nyampah di sosmed dan itu yang membuat dia
gemas. Entah kenapa pagi ini jemari saya lumayan lancar mengetik. Mungkin
terdorong rasa bersalah karena ga bisa menghadiahinya tulisan di hari
pernikahannya setahun lalu. Atau saya mulai menemukan gairah untuk menulis lagi
karena pengakuannya semalam. Pengakuan ayahnya dan mantan redaktur koran tempat
kami menjadi Freelance Journalist 2
tahun lalu. Pengakuan bahwa tulisan saya di koran itu lebih bagus daripada
tulisannya. Okay, I admit that’s mean a
lot for me. Butuh hati yang besar untuk mengakui sahabatmu lebih hebat
dalam mengeksekusi news. Hahahaha…
Okay, let me tell u this. I’m ur biggest fan actually. Ga cuma demen ngintip beranda FB dan Twittermu, I’m always waiting for new post on your blog. Saya ga pandai
mengeksplor tentang bagaimana tulisan menjadi lebih dramatis dengan
ornamen-ornamen tertentu. Atau bagaimana mengubah tampilan blog menjadi lebih
menarik. Mungkin saya penganut paham old
school alias gaptek terkait ornamen pelengkap itu. Hahaha…
Hubungan kami cukup unik, kami saling mengagumi satu sama lain. Satu hal
yang saya ingat tentang Ire Rosana, kegigihannya. Well, I thought she’s a real wonder woman alive. Hahaha…Saya kenal
dia sejak di bangku kuliah dan bergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Dimensi.
Saya adik tingkatnya, karena itu saya terbiasa memanggil dia Mbak atau Mak. Walaupun
usia kami hanya terpaut 8 bulan, tapi dalam beberapa hal dia memang jauh lebih
dewasa ketimbang saya.
Dia sering bercerita tentang masa kecilnya. Tentang
penghapus. Ingatan saya ga begitu bagus. Banyak cerita masa kecilnya, tapi yang
saya ingat sejauh ini baru soal penghapus karena beberapa waktu lalu sempat dia
singgung di sosmed. Pardon me, Mak.
Cerita tentang masa kecilnya itu yang membuat saya jatuh cinta dengannya.
Betapa dia struggle dengan segala
keterbatasannya waktu itu. Hal itu pulalah yang akhirnya membentuk dia menjadi
wanita kuat dan mandiri seperti sekarang ini.
Soal kegigihannya. Dia orang paling gigih dalam banyak hal. Pendidikan,
karir, passion, termasuk percintaan.
Yang terakhir ini buat saya agak menyedihkan mengingat dia beberapa kali gagal
sebelum akhirnya berlabuh pada sosok Petualang Cilik, partner hidupnya sekarang.
Dia lumayan konsisten. Tangguh. Bayangkan, dia yang dulu payah banget
dalam mengenal jalan, sekarang menjadi salah satu penakluk Jakarta. Oke, agak
berlebihan sih. Lebih tepatnya, dia berani jauh-jauh dari Depok ke Tanah Abang
sendirian belanja kebutuhan online shopnya.
Saya aja nih ya, yang dulu rajin banget dinas ke Jakarta, sampai detik ini
masih ga berani menjelajah Jakarta sendirian. Dia ga mudah terprovokasi
situasi. Beda dengan saya yang sangat insecure
sekali saat berada di lingkungan baru.
Oh iya, dia juga teman yang sangat perhatian. She love details. Dia ingat banyak hal tentang kawan-kawannya.
Selalu mengingat hal menarik dari mereka. Ga heran, saya banyak menemukan nama
saya dan Milla berserakan di beberapa tulisannya. I love you, Mak.
Soal passion. Kami memulai
start di waktu yang berbeda. Dia lebih dulu menekuni jurnalistik. Walaupun seiring
berjalannya waktu saya mengunggulinya. Tapi dia berhasil mengubah keadaan. Dia
menebus kegagalannya dengan makin produktif menulis. Saya ingat tulisan-tulisan
pertamanya dulu di blog. Seputar jalan-jalannya ke Singapur, dll. Lumayan
belepotan. tapi dia ga berhenti menulis. Ga berhenti membaca. Sampai akhirnya
dia keluar dari kantor lamanya dan memutuskan hijrah ke Semarang. Disitulah dia
membuktikan, kegigihan mengalahkan bakat. Tulisannya makin hidup, liar dan
inspiratif. Poin terakhir ini yang dulu selalu saya tekankan ke rekan-rekan
reporter Dimensi.
Saya pernah membidani bulletin di NGO tempat saya bekerja. Sampai detik
ini, itu salah satu pencapaian terbesar dalam karir menulis saya. Jujur, sejak
kuliah saya mengaguminya. Tidak sebesar saya mengagumi Pemimpin Umum Dimensi waktu
itu sih. Hahaha. Dia menarik, unik lebih tepatnya. Saya ga benar-benar dekat
waktu itu. Banyak yang membandingkan kami. Mereka bilang, tulisan saya lebih
bagus, kepemimpinan saya lebih baik. Waktu itu kami pernah menjabat sebagai
Pemimpin Redaksi Dimensi. Dia pun terang-terangan mengakui kecemburuannya pada
saya.
Ditengah kesibukan saya mengurus bulletin baru, dia mengenalkan saya ke
sebuah koran harian baru di Semarang. Rupanya dia baru bergabung sebagai Freelance Journalist disana. Saya ragu.
Jujur saya ga pede sama sekali. Walaupun menurut mereka tulisan saya bagus,
tapi saya bukan wartawan yang bagus. Saya lebih menyukai essay, karena saya bisa mengumpulkan berbagai macam sumber untuk
mendukung tulisan saya. Tidak melulu berhadapan dengan narasumber yang berarti
harus mobile kesana sini. Ketemu
banyak orang dengan berbagai karakter dan situasi. Disitulah letak perbedaan
kami. Dia baru bisa nulis kalau sudah melakukan reportase. Saya? Beri saya
akses internet penuh dan sejumlah literature,
saya eksekusi dalam waktu kurang dari 2 jam.
Tapi roda berputar. Saya yang, katanya sih, dipuja-puja sana sini,
tiba-tiba mandul menulis! Sejak saya bekerja di pemerintahan, perlahan life style saya berubah. Hedon? Pasti.
Saya tinggal di Bali, pusat hedonism, modernitas dan kultur bersimbiosis membentuk situasi yang membuat siapa saja betah hidup
disana selamanya. Idealisme saya terkikis sedikit demi sedikit.
Saya masih suka membaca waktu itu. Satu setengah tahun disana, saya
punya satu kontainer penuh novel yang kebanyakan belum saya sentuh. Satu hal
yang ternyata mengubah saya. Dulu saya belum mampu membeli buku sendiri. Sekalinya
punya buku, senangnya bukan main. Sekarang, beli buku tak ubahnya seperti beli
teh botol. Saya suka membeli buku, mungkin pelampiasan karena dulu harus nabung
dulu demi bisa membawa pulang satu buku. Sekarang? Saya bisa membeli kapanpun
dan sebanyak apapun buku yang saya mau. Saya baca semuanya? Tidak. Seringnya
hanya memenuhi rak buku di kamar mess.
Saya malas menulis. Malas membaca pula. Akhirnya, saya mandeg menulis.
Saya hanya ketawa aja saat disindir mandeg nulis. Jujur saya bingung harus
mulai darimana. Otak ini mendadak tumpul. Seolah kejayaan waktu itu tak ubahnya
seperti mimpi siang bolong.
Sampai keadaan berubah 180 derajat. Okober 2015, Saya harus pindah ke
Ketapang, kecamatan paling ujung Jawa Timur. Diluar konflik internal yang saya
alami dibawah pimpinan yang baru, ada perubahan kondisi yang mau tidak mau
harus dijalani. Saya harus merasakan susahnya tinggal di kota kecil yang serba
apa adanya ini. Kebayang kan, tinggal di daerah perbatasan gini, serba
terbatas.
Saya pernah curhat ke pasangan, saya pengen nulis lagi. Seolah ada
bagian yang hilang dalam diri saya. Saya merasa tak ubahnya seperti robot.
Kosong. Saya harus nulis, tapi saya ga tahu mulai darimana. Saya sudah
menghadap laptop, tapi ga satu pun kata terlintas di benak saya. Saya percaya,
menulis itu mulai dari hati, dan biarkan otak yang mengeksekusi.
Dan disinilah saya sekarang. Mulai menggerakkan hati, jemari dan
imajinasi untuk menulis lagi. Mungkin ini proses menyatukan lagi puzzle yang
berserakan. Butuh waktu, tapi setidaknya saya sudah memulainya.