Jumat, 30 September 2011

DIMENSI

Pernah ada masanya aku mengalami masa kegelapan itu. Saat semuanya terasa begitu menyesakkan. Penat yang mengisi keseharianku tak lagi dapat kubendung. Rasanya aku muak dengan satu kata itu “DIMENSI”.


Ingin rasanya aku mengundurkan diri. Aku ingin berontak. Cukup sudah aku dimabukkan dengan pujian yang hanya akan menenggelamkanku lebih dalam. Aku bukanlah seorang wartawan yang baik. Aku tidak ditasbihkan sebagai seorang jurnalis yang handal. Kalaupun dipaksakan toh aku hanya akan menjadi seorang reporter amatiran. Aku memang menjadi ketagihan jurnalistik semenjak mereka menjerumuskan aku ke dalamnya. Tapi that’s all. Aku sadar aku tidak akan mampu menjadi seorang wartawan TEMPO seperti impianku. Karena aku bukanlah seorang wartawan. Aku adalah penulis yang tersesat dalam rimba bertajuk jurnalistik. Sebuah rimba yang teramat lebat dan menyimpan sejuta misteri yang menggoda untuk dikuak.
Ingin rasanya kuakhiri peran ini. Cukuplah mereka berharap padaku. Aku tak sehebat itu !! Aku lelah harus memenuhi harapan yang sejujurnya menyiksaku. Please, biarkan aku berkembang seperti mauku. Ijinkan aku menghirup napas barang sedetik. Biarlah kulepaskan belenggu yang menjeratku selama ini.
 Aku mencintai DIMENSI lebih dari yang kalian kira. Sakit hati ini ketika kadar cintaku ditakar dengan keikutsertaanku pada satu hal yang kurasa tak sebanding dengan pengorbananku selama ini.
Pengorbanan selama hampir dua tahun diukur dengan keikutsertaan dalam kegiatan selama 3 hari itu !! Bah ! Aturan macam mana itu !
Aku punya cara sendiri dalam mencintai DIMENSI. Aku punya segudang amunisi yang siap kumuntahkan. Anak panahku juga sedang kuasah tajam demi mencapai target bidikan. Jadi jangan pernah ukur kadar cintaku dengan apapun itu !! 

Kamis, 29 September 2011

Saya bukan Kerr dan dia bukan Gie

250610

Waktu itu saya tengah asyik ngobrolin cerita horor sama teman-teman pengurus baru Dimensi (Dims) ketika tiba-tiba saya terserang rindu yang teramat sangat pada Haris. Bukan perasaan yang luar biasa memang. Malam itu ada PU Dims 2010-2011, Firdaus Setio N. (Idosh), Pimred baru Milla Himatuz Zahra (Milla), Soeryono (Soer) dan David Esap (Ceti). Kami ngobrol santai di undakan tangga hall Dims, sebutan baru kami untuk hall BEM. Ya, sudah sepekan lebih kantor Dims “terpaksa” pindah ke kantor BEM lama di hall BEM.

“Soer, kalo ketemu mas Haris bilang aku kangen sama dia.” Saya berkata pada Soer yang lagi asyik maenan laptop. Dia senyum-senyum. “Wah, mas Haris kayaknya ngga mikirin soal cewek, mbak.” Belum sempat aku ngomong, Milla udah nyembur. “Wah, kalau kamu mikir gitu, berarti kamu belum ngerti Soer.” Saya ikutan senyum. “Iya, mindset kamu harus diubah Soer, aku ngga nafsu sama Haris. Dia kan tomboy. Hahaha…”

Tiba-tiba Milla menyodok lengan saya sambil berbisik. “Kamu beneran kangen mbak?” Saya hanya mengangguk mengiyakan. “Kalau gitu kamu kayak Kerr.”

 “Siapa Kerr?” Saya belum pernah dengar nama itu sebelumnya.

“Dia temen wanita Soe Hok-Gie yang nulis surat buat Gie. Aku punya kok kumpulan suratnya, besok aku pinjemin. Dulu aku mau nulis itu di Facebook, buat kamu sama mas Haris, tapi ngga jadi.”

Saya jadi penasaran dengan isi surat-surat Kerr buat Gie. Apakah sama dengan yang saya rasakan pada Haris? Bagaimana hubungan mereka? Sahabat, pacar atau hanya kenal nama doank? Apa Kerr juga bersiteru dengan Gie seperti perang dingin saya dengan Haris? Pertanyaan itu terus muncul dalam perjalanan pulang ke rumah. Berhubung Milla masih terbawa suasana horor saat ngobrol hantu-hantuan di kampus tadi, dia pulang bareng saya. Malam itu juga saya pinjam buku kumpulan surat Kerr yang ternyata adalah buku Soe Hok-Gie …Sekali Lagi-nya Rudi Badil, dkk. Buku yang sama yang dulu saya informasikan pada Haris, tapi ternyata dia sudah punya duluan.

Saya baca buku setebal 512 halaman itu setiap malam. Entah kenapa, setiap saya merasa rindu pada kawan satu itu, saya selalu mendengarkan lagu dan membaca tulisan tentang Soe Hok-Gie. Sudah rahasia umum kalau Haris itu mengidolakan Gie dan keduanya nyaris serupa. Hanya saja Gie sudah tiada 40 tahun yang lalu, sedangkan teman saya ini masih sehat walafiat di usianya yang genap 22 tahun 10 Agustus 2010 nanti.

Setelah membaca surat-surat Kerr, memang ada beberapa kemiripan hubungan Kerr-Gie dengan saya dan Haris. Sama-sama berkawan tentunya. Gie yang mengenalkan Kerr pada kehidupan organisasi kampus beserta para aktivisnya. Sama seperti yang dilakukan Haris. Saya yang mulanya hanya iseng-iseng gabung di Dims, akhirnya menemukan motivasi tersendiri di dalamnya. Tidak hanya sekedar menulis cerpen cinta-cintaan atau jadi tim penggembira dalam event Dims.

Saya mulai menemukan sebagian jati diri ketika bersamanya. Menulis yang membawa perubahan bukan sekedar pamer nama dan foto diri. Saya mulai concern untuk terjun di dunia jurnalisme. Saya belajar tentang manajemen media, khususnya bidang penerbitan. Saya selalu haus pengetahuan tentang jurnalisme dan seluk beluknya. Haris salah seorang yang mengobati dahaga saya. Walaupun akhirnya saya lebih ngerti sedikit tentang pers ketimbang dia, tapi saya masih meminjam spiritnya dalam berkarya.

Kegiatan meminjam spirit itulah yang akhirnya menimbulkan ketergantungan saya terhadap Haris. Saya yang waktu itu menjabat sebagai Pemimpin Redaksi, masih membutuhkan pemantik untuk menyalakan obor dalam pilar Redaksi yang saya pimpin. 

..bersambung.