Senin, 20 Juni 2016

I HAVE NOBODY HERE

Oh they say people come
They say people go
This particular diamond was extra special
And though you might be gone
And the world may not know
Still I see you celestial

Like a lion you ran
A goddess you rolled
Like an eagle you circled
In perfect purple
So how come things move on
How come cars don't slow
When it feels like the end of my world?
When I should but I can't let you go?

But when I'm cold, cold
When I'm cold, cold
There's a light that you give me
When I'm in shadow
There's a feeling within me, an everglow

Like brothers in blood
Sisters who ride
Yeah, we swore on that night
We'd be friends 'til we died
But the changing of winds
And the way waters flow
Life as short as the falling of snow
And now I'm gonna miss you, I know

But when I'm cold, cold
In water rolled, salt
And I know that you're with me
And the way you will show
And you're with me wherever I go
'Cause you give me this feeling, this everglow

What I wouldn't give for just a moment to hold
Yeah, I live for this feeling, this everglow

So if you love someone, you should let them know
Oh, the light that you left me will everglow


 ***


Lirik lagu Everglow-nya Coldplay diatas meaningful banget buat saya saat ini. I'm surrounded by fck people, orang-orang yang tenyata kadar egois dan apatisnya luar biasa tinggi. Anak-anak kemaren sore yang ngerasa sok dan tahu segala-galanya, padahal tanda tangan SK belum kering. Kepala yg oh-so-fckin-damn annoying bgt!! Yang pilih kasih lah, yang ga pedulian, yang otoriter narsis dan cenderung diktator. What happened with this office??? Bukannya makin baik malah makin ancur. Oke, saya ngeluh lagi.

I feel no friends here. Sahabat terbaik saya udah duluan pergi dari kantor sialan ini. Kantor dihuni orang-orang baru yang ngerasa mereka lebih baik dari pendahulunya. Pathetic!

The best way out is married. Soon!

Cuma dengan menikah, saya bisa keluar dari kantor ini. Alasan ikut suami selalu mujarab meruntuhkan dinding pertahanan Biro Kepegawaian. Hihihi...Cuma masalahnya ga sesederhana itu. Saya masih harus melewati tahapan ketemu ortunya, ortunya harus ketemu ortu saya, baru deh bisa nyusun rencana married-nya. Yah, semoga dimudahkan lah..




























Senin, 16 Mei 2016

MOODY

Fix.

Saya yang salah disini. Saya yang (lagi-lagi) ga bisa nyesuain diri sama lingkungan kantor. Ini tahun ke-6 saya bekerja. Sudah beberapa kali saya berganti perusahaan dari ritel, farmasi, NGO, lembaga keuangan balik NGO lagi sebelum berakhir menjadi abdi negara di instansi ini. Saya memulai adaptasi di lingkungan kerja dengan normal, sewajarnya anak baru lah. Sampai saya bisa enjoy dan membaur dengan rekan-rekan kantor. But, in the end, selaluuuuu saja saya punya konflik dengan rekan kantor. Oke, saya ralat, konflik dengan PIMPINAN. Wohoooo...keren banget kan saya...siapa saya gituuuu...

Mulai dari konflik dengan SPV di perusahaan ritel, SPV di perusahaan farmasi, Direktur & Manager NGO, Kabid Payroll, sampai terakhir dengan sangat kerennya konfrontasi langsung dengan KEPALA KANTOR, KASUBBAG TU dan KASIE OPERASI di Kantor Otoritas ini. Saya ga tau, apa yang salah dengan saya. Mungkin saya tipe yang suka mengkritik dan menyatakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pimpinan. Saya suka ga terima dengan kebijakan atau perintah pimpinan yang kadang ga masuk akal, sarat kepentingan, dll. Bukannya mensejahterkan pegawai, malah makin nyusahin. Tapi kenapa cuma saya aja yang melihat seperti itu? Terlalu baperkah saya? Atau teman-teman saya yang cupu dan apatis?

Saya selalu ngerasa saya ga cocok jadi pegawai. Iya, saya ga suka aja diperintah ini itu yang ga sesuai hati nurani. Harus kerja office hours. Harus kejar target penjualan. Harus sesuai protokoler. Taek.

Mungkin saya emang seharusnya ngikutin kata hati dan hasil psikotest waktu itu. Berkali-kali psikotest hasilnya sama, passion saya di dunia seni dan jurnalistik. Bapak saya sih, keburu skeptis bilang kalo seniman di Indonesia Raya ini belum diakui. Pupus deh impian kuliah di IKJ. Batal deh nyutradarain Nicholas Saputra. Hiks.

Pacar saya sekarang, adalah orang yang sangat realistis. Do ur best, push till ur limit. Usaha ga pernah mengkhianati hasil. Gitu kira-kira. Sebenernya kita sama, gila kerja. Saya kalau udah nemu kerjaan yang asik, bisa begadang sampai pagi. Begitu pun dia. Bedanya, dia totalitas banget sama semua kerjaan dia. Saya? Pilih-pilih dong, kebanyakan saya lembur kalo berhubungan sama tulisan. Selain itu, paling banter saya lembur cuma sampe jam 1 malem doang. Cuman, saya lebih sering moody-an, saya bisa semangat banget ngerjain sesuatu trus stop kalo tiba-tiba merinding. Iya, beberapa kali saya keasikan kerja trus tiba-tiba ziiiinggg...berasa ada yg lewat aja gitu. Nah kalo gitu langsung matiin laptop dah. 

Saya anaknya baperan abis. misal nih ya, udah capek-capek kerja, lembur seminggu full, eh ga dapet apa-apa. Udah nyebrang ke pulau seberang eh perjadin ga bisa cair karena ga ada tiket kapal yg cuma 7 rebu itu (dasaran bendaharanya bloon). Giliran perjadin ke Jakarta kemaren yang diwarnai oleh lari-larian muterin sepertiga Monas dengan ransel overload, odner seberat 2 kilo, dibego-begoin kepala kantor, eh dibilang pekerjaan saya itu ga begitu urgent!! Hellowwww...Kalo ga urgent ga mungkin Pak Menteri ngasih ultimatum, harus kelar tanggal sekian! Udah gitu, besok-besok disuruh kirim by e-mail aja. It's mean saya harus nge-scan -/+ 500 halaman data dukung untuk dikirim BY E-MAIL. *Ambil tali. 

Ok, saya ga munapik yaa..saya butuh duit. Saya butuh penghargaan atas pekerjaan saya. Penghargaan yang relevan sama kerjaan saya. Ga mungkin dong saya cukup puas dengan pujian seperti, "Eh, Berita Acara Serah Terima Operasional kamu bagus yaa, rapi, lengkap data dukungnya". Saya ga butuh woyyy...Beda cerita kalo saya nulis, motret atau masak, dapat pengakuan dan pujian aja udah seneng bangeeeeettttt!!! Kalau udah gitu, mutung deh. Males juga, I put the big effort on it.

Kayaknya saya lebih cocok jadi istri pengusaha kaya raya yang tinggal di Bali, buka butik di Ubud, punya resort di Nusa Lembongan, garasi berjejer mobil sport dan moge, anak sekolah di international school. Okay, saya ngimpi. Faktanya, pasangan saya sekarang sama-sama seorang abdi negara (halah bilang aja pns), males bgt nyebut profesi yg dapat cap minus tapi most wanted job banget di masyarakat kita, dih!). Tinggal di Maumere, NTT yaa bukan Papua. Heran, dulu Geografinya dapet berapa sih? Tinggal di rumah dinas bandara. Disana air keran cuma nyala pagi sama sore doang. Sigh. Kendaraan kami cuma Supra goyang warisan empunya rumah tahun 2000 yg udah pretelan, Vario CW tahun 2010, sama Ninja karbu 250cc. Udah itu doang. Mobil sengaja dihibahin ke ortunya, anak soleh bro. Jadilah kita nantinya hidup sebagai abdi negara yang sederhana dan bersahaja. Yang cuma bisa liburan ke Ende, Kupang, Labuan Bajo, Rote, Sumba, Sumbawa, Lombok, Bali dan Aussie. NGIRI KAN LO PADAAAAA????? BUAHAHAHAHAHHAHAHAAAA.....


Okay cukup nyombongnya. 


Saya nulis ini bertahap sih. Beberapa paragraf awal kentara banget saya nulis sambil manyun nahan emosi. Bagian nyombong barusan saya tulis pas suasana hati lagi hepi karena punya lipen baru. Hihihi...Yaa begitulah sayahhh..Cewe imoeth, yang bentar lagi kepala 3 tapi masih moody-an anett dan mulai berpikir udah saatnya ganti perawatan untuk anti-aging. Wkwkwkwkwkwkwkw...


Anyway, si Emprit lagi di Denpasar, nunggu boarding ke Jakarta. Kalau dipikir-pikir keadaan kita tuh berbalik 180 derajat loh. Dulu nih ya, awal pacaran 2014 lalu saya yang sering dinas kesana kemari. Dia cuma bisa manyun. Sekarang? Saya kebanyakan browsing online shop dan minta dia yang bayar bill-nya. Adil kan? Adil donggsss...buahahahahhaa.




Note: Oia, kenapa tulisannya jadi besar kecil gini ya? Padahal udah disamain loh ukuran font-nya. Could anybody help me, please?








































Selasa, 26 April 2016

Ketakutan Seorang Perempuan

Saya bingung dengan apa yang sedang saya rasakan akhir-akhir ini. Pikiran-pikiran buruk tentang operasi, pemasangan infus dan obat injeksi yang sangat menyakitkan, aroma anestesi hirup yang membuat hidung jadi nyeri, kamar operasi yang dingin dan serba hijau, penuh dengan dokter dan perawat di dalamnya yang menyapa saya dan tak henti meminta saya berdoa.

Takut. Ya, mungkin hanya itu yang saya rasakan. Tidak ada yang lain. Saya takut ketika dokter memberitahu saya menderita kista ovarium endometriosis dan harus dioperasi. Takut harus menjalani serangkaian operasi yang mendebarkan. Dan ketakutan terbesar saya, ancaman sulit memiliki keturunan.

Alasan terakhir itulah yang membuat saya seakan “lumpuh”. Produktifitas kerja menurun, kreatifitas buntu, di otak saya hanya ada serangkaian istilah-istilah itu. Kista ovarium, kista endometriosis, operasi laparaskopi, infertilitas, kanker ovarium.

*)draft yang lama terbengkalai dan males mau ngelanjutin lagi..hehehe

Sebuah Permulaan…

Sudah tiga hari terakhir ini saya dilanda kejenuhan luar biasa di tempat kerja. Entah karena memang jenuh atau sakit hati dengan instansi yang menaungi saya sekarang ini. Pagi ini saya mulai dengan mengetik “radarlangit” di kotak seluncur saya. Sedetik kemudian muncul nama “irero” di deretan teratas hasil seluncur. Wow, keren juga perempuan satu ini. Dia sukses menempatkan blog pribadinya ke urutan teratas mesin pencari.

Semalam, dia bbm meminta saya menulis lagi untuk dia post di blognya ini. Saya ketawa aja. Bukannya apa, dia tahu betul saya mandul nulis 2 tahun terakhir ini. Sejauh ini saya cuma nyampah di sosmed dan itu yang membuat dia gemas. Entah kenapa pagi ini jemari saya lumayan lancar mengetik. Mungkin terdorong rasa bersalah karena ga bisa menghadiahinya tulisan di hari pernikahannya setahun lalu. Atau saya mulai menemukan gairah untuk menulis lagi karena pengakuannya semalam. Pengakuan ayahnya dan mantan redaktur koran tempat kami menjadi Freelance Journalist 2 tahun lalu. Pengakuan bahwa tulisan saya di koran itu lebih bagus daripada tulisannya. Okay, I admit that’s mean a lot for me. Butuh hati yang besar untuk mengakui sahabatmu lebih hebat dalam mengeksekusi news. Hahahaha…

Okay, let me tell u this. I’m ur biggest fan actually. Ga cuma demen ngintip beranda FB dan Twittermu, I’m always waiting for new post on your blog. Saya ga pandai mengeksplor tentang bagaimana tulisan menjadi lebih dramatis dengan ornamen-ornamen tertentu. Atau bagaimana mengubah tampilan blog menjadi lebih menarik. Mungkin saya penganut paham old school alias gaptek terkait ornamen pelengkap itu. Hahaha…

Hubungan kami cukup unik, kami saling mengagumi satu sama lain. Satu hal yang saya ingat tentang Ire Rosana, kegigihannya. Well, I thought she’s a real wonder woman alive. Hahaha…Saya kenal dia sejak di bangku kuliah dan bergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Dimensi. Saya adik tingkatnya, karena itu saya terbiasa memanggil dia Mbak atau Mak. Walaupun usia kami hanya terpaut 8 bulan, tapi dalam beberapa hal dia memang jauh lebih dewasa ketimbang saya. 

Dia sering bercerita tentang masa kecilnya. Tentang penghapus. Ingatan saya ga begitu bagus. Banyak cerita masa kecilnya, tapi yang saya ingat sejauh ini baru soal penghapus karena beberapa waktu lalu sempat dia singgung di sosmed. Pardon me, Mak. Cerita tentang masa kecilnya itu yang membuat saya jatuh cinta dengannya. Betapa dia struggle dengan segala keterbatasannya waktu itu. Hal itu pulalah yang akhirnya membentuk dia menjadi wanita kuat dan mandiri seperti sekarang ini.

Soal kegigihannya. Dia orang paling gigih dalam banyak hal. Pendidikan, karir, passion, termasuk percintaan. Yang terakhir ini buat saya agak menyedihkan mengingat dia beberapa kali gagal sebelum akhirnya berlabuh pada sosok Petualang Cilik, partner hidupnya sekarang.

Dia lumayan konsisten. Tangguh. Bayangkan, dia yang dulu payah banget dalam mengenal jalan, sekarang menjadi salah satu penakluk Jakarta. Oke, agak berlebihan sih. Lebih tepatnya, dia berani jauh-jauh dari Depok ke Tanah Abang sendirian belanja kebutuhan online shopnya. Saya aja nih ya, yang dulu rajin banget dinas ke Jakarta, sampai detik ini masih ga berani menjelajah Jakarta sendirian. Dia ga mudah terprovokasi situasi. Beda dengan saya yang sangat insecure sekali saat berada di lingkungan baru.

Oh iya, dia juga teman yang sangat perhatian. She love details. Dia ingat banyak hal tentang kawan-kawannya. Selalu mengingat hal menarik dari mereka. Ga heran, saya banyak menemukan nama saya dan Milla berserakan di beberapa tulisannya. I love you, Mak.

Soal passion. Kami memulai start di waktu yang berbeda. Dia lebih dulu menekuni jurnalistik. Walaupun seiring berjalannya waktu saya mengunggulinya. Tapi dia berhasil mengubah keadaan. Dia menebus kegagalannya dengan makin produktif menulis. Saya ingat tulisan-tulisan pertamanya dulu di blog. Seputar jalan-jalannya ke Singapur, dll. Lumayan belepotan. tapi dia ga berhenti menulis. Ga berhenti membaca. Sampai akhirnya dia keluar dari kantor lamanya dan memutuskan hijrah ke Semarang. Disitulah dia membuktikan, kegigihan mengalahkan bakat. Tulisannya makin hidup, liar dan inspiratif. Poin terakhir ini yang dulu selalu saya tekankan ke rekan-rekan reporter Dimensi.

Saya pernah membidani bulletin di NGO tempat saya bekerja. Sampai detik ini, itu salah satu pencapaian terbesar dalam karir menulis saya. Jujur, sejak kuliah saya mengaguminya. Tidak sebesar saya mengagumi Pemimpin Umum Dimensi waktu itu sih. Hahaha. Dia menarik, unik lebih tepatnya. Saya ga benar-benar dekat waktu itu. Banyak yang membandingkan kami. Mereka bilang, tulisan saya lebih bagus, kepemimpinan saya lebih baik. Waktu itu kami pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Dimensi. Dia pun terang-terangan mengakui kecemburuannya pada saya.

Ditengah kesibukan saya mengurus bulletin baru, dia mengenalkan saya ke sebuah koran harian baru di Semarang. Rupanya dia baru bergabung sebagai Freelance Journalist disana. Saya ragu. Jujur saya ga pede sama sekali. Walaupun menurut mereka tulisan saya bagus, tapi saya bukan wartawan yang bagus. Saya lebih menyukai essay, karena saya bisa mengumpulkan berbagai macam sumber untuk mendukung tulisan saya. Tidak melulu berhadapan dengan narasumber yang berarti harus mobile kesana sini. Ketemu banyak orang dengan berbagai karakter dan situasi. Disitulah letak perbedaan kami. Dia baru bisa nulis kalau sudah melakukan reportase. Saya? Beri saya akses internet penuh dan sejumlah literature, saya eksekusi dalam waktu kurang dari 2 jam.

Tapi roda berputar. Saya yang, katanya sih, dipuja-puja sana sini, tiba-tiba mandul menulis! Sejak saya bekerja di pemerintahan, perlahan life style saya berubah. Hedon? Pasti. Saya tinggal di Bali, pusat hedonism, modernitas dan kultur bersimbiosis membentuk situasi yang membuat siapa saja betah hidup disana selamanya. Idealisme saya terkikis sedikit demi sedikit.

Saya masih suka membaca waktu itu. Satu setengah tahun disana, saya punya satu kontainer penuh novel yang kebanyakan belum saya sentuh. Satu hal yang ternyata mengubah saya. Dulu saya belum mampu membeli buku sendiri. Sekalinya punya buku, senangnya bukan main. Sekarang, beli buku tak ubahnya seperti beli teh botol. Saya suka membeli buku, mungkin pelampiasan karena dulu harus nabung dulu demi bisa membawa pulang satu buku. Sekarang? Saya bisa membeli kapanpun dan sebanyak apapun buku yang saya mau. Saya baca semuanya? Tidak. Seringnya hanya memenuhi rak buku di kamar mess.

Saya malas menulis. Malas membaca pula. Akhirnya, saya mandeg menulis. Saya hanya ketawa aja saat disindir mandeg nulis. Jujur saya bingung harus mulai darimana. Otak ini mendadak tumpul. Seolah kejayaan waktu itu tak ubahnya seperti mimpi siang bolong.

Sampai keadaan berubah 180 derajat. Okober 2015, Saya harus pindah ke Ketapang, kecamatan paling ujung Jawa Timur. Diluar konflik internal yang saya alami dibawah pimpinan yang baru, ada perubahan kondisi yang mau tidak mau harus dijalani. Saya harus merasakan susahnya tinggal di kota kecil yang serba apa adanya ini. Kebayang kan, tinggal di daerah perbatasan gini, serba terbatas.

Saya pernah curhat ke pasangan, saya pengen nulis lagi. Seolah ada bagian yang hilang dalam diri saya. Saya merasa tak ubahnya seperti robot. Kosong. Saya harus nulis, tapi saya ga tahu mulai darimana. Saya sudah menghadap laptop, tapi ga satu pun kata terlintas di benak saya. Saya percaya, menulis itu mulai dari hati, dan biarkan otak yang mengeksekusi.


Dan disinilah saya sekarang. Mulai menggerakkan hati, jemari dan imajinasi untuk menulis lagi. Mungkin ini proses menyatukan lagi puzzle yang berserakan. Butuh waktu, tapi setidaknya saya sudah memulainya.

Senin, 04 Maret 2013

Ngomongin Kerjaan

Lagi-lagi ngerasa suntuk dengan jobdesc. Untuk kesekian kalinya gue merutuki nasib gue yang terdampar di bidang Keuangan. Mulai dari kuliah di jurusan Keuangan Perbankan, dimana dari awal memilih jurusan ini gue udah hopeless bisa kerja di bank. Konon desk di front liner itu udah di desain sedemikian rupa sehingga hanya pemilik tinggi badan diatas 155cm sajalah yang "berhak" berdiri dibelakangnya. Suck.

gak perlu pake heels 15cm untuk "terlihat".

Actually, gue juga gak pengen juga sih ya kerja jadi bankir. Kalaupun beberapa bulan kemaren gue sempat napsu pengen kerja di bank, itu karena gue pengen nyenengin keluarga sama pacar doank sih...Ok, ortu gue gak pernah ngatur-ngatur gue harus kerja dimana, so far gitu sih. Selama kerjaan gue itu bikin gue bahagia, nyaman, sukur-sukur bisa ikut bantuin keluarga, mereka pasti dukung. Horeee...

Trus, hubungannya sama nyenengin pacar?

Yahhh...secara si pacar pengennya gue kerja di tempat yang berseragam (bukan jadi satpam juga sih), pake rok, dress, lengkap dengan make up dan high heels-nya. Tapi, itu kan bukan gue banget. Iya sih, sejak pacaran sama beliau, gue jadi lebih care dengan diri gue. Mulai nyadar kalau gue ini p-e-r-e-m-p-u-a-n. Emang sebelum pacaran sama dia gue ini anakan trenggiling?

ini trenggiling atau lepehan kulit salak ya?

Jadilah gue mulai berkenalan dengan dress, skincare, high heels, dan make up.

...mulai gak fokus...

Ok, lanjut topik awal tadi. Jadi, dalam 4 pekerjaan gue sebelumnya, tiga pekerjaan berhubungan dengan bidang keuangan. Pertama sebagai Accounting Staff di sebuah perusahaan ritel, Admin & Finance Staff di LSM, dan terakhir sebagai Payroll Staff di salah satu koperasi nasional. Oh iya, dan ketiganya sama-sama berkedudukan sebagai kantor pusat, which is selayaknya Head Office, apapun jenis perusahaannya, bisa dipastiin full of pressure and hectic!

Pasti nyangkain gue udah jago urusan ngitung duit keluar masuk. Gini ya, kalau gue udah jago, gak mungkin saldo gue selalu minus tiap gajian...hiks. Jago keluar masuk kerjaan sih iya!

ngutang lagi dehh...

Pernah gak sih ngerasain rasanya diperkosa sama kerjaan sendiri? Huaaaaaaaaa....Mereka pada ngerasain gak sih rasanya ngadepin sesuatu yang gak kita suka? Se-eneg apapun tapi tetap gak bisa kita hindari. Huft.

Yah, setidaknya gue gak tersiksa-siksa amat sih di kantor gue ini. Fortunatelly, gue punya atasan yang sedikit ngertiin gue. Dia tahu gue gak suka bidang keuangan, karena itu dia ngasih gue ruang gerak untuk nyalurin passion gue di bidang media. Yapp, gue diberi kepercayaan untuk membidani, ceilee brojolin bayiiii kali...hehe, gue dipercaya buat meng-handle buletin lembaga tempat gue bekerja sekarang (gue balik lagi di LSM gue yang dulu). Yah, tapi main job sebagai Staf Keuangan tetap jadi prioritas sih, secara gue digaji kan sebagai tukang ngurusin duit, walaupun sambil jadi kuli tinta. Hehehehe...

Yah, jadi gitu deh, dibalik kesusahan, pasti ada senengnya, itu kalau lo bisa nemuin sih...hahahaa...dalam kasus gue sih, pengalaman gue berorganisasi waktu kuliah, ngebantu banget dalam pekerjaan gue. Apalagi kalau atasan kita ngertiin dan bisa memberi kita wadah untuk nyalurin bakat kita, selama itu mendukung juga buat kemajuan perusahaan sih. Kalau bakat lo ngabisin jatah makan siang sih, gue gak jamin atasan bakal ngasih lo kesempatan itu. Ada juga lo yang dijadiin makan siang orang sekantor...

nyaaam...nyaaaammmm...


Jumat, 30 September 2011

DIMENSI

Pernah ada masanya aku mengalami masa kegelapan itu. Saat semuanya terasa begitu menyesakkan. Penat yang mengisi keseharianku tak lagi dapat kubendung. Rasanya aku muak dengan satu kata itu “DIMENSI”.


Ingin rasanya aku mengundurkan diri. Aku ingin berontak. Cukup sudah aku dimabukkan dengan pujian yang hanya akan menenggelamkanku lebih dalam. Aku bukanlah seorang wartawan yang baik. Aku tidak ditasbihkan sebagai seorang jurnalis yang handal. Kalaupun dipaksakan toh aku hanya akan menjadi seorang reporter amatiran. Aku memang menjadi ketagihan jurnalistik semenjak mereka menjerumuskan aku ke dalamnya. Tapi that’s all. Aku sadar aku tidak akan mampu menjadi seorang wartawan TEMPO seperti impianku. Karena aku bukanlah seorang wartawan. Aku adalah penulis yang tersesat dalam rimba bertajuk jurnalistik. Sebuah rimba yang teramat lebat dan menyimpan sejuta misteri yang menggoda untuk dikuak.
Ingin rasanya kuakhiri peran ini. Cukuplah mereka berharap padaku. Aku tak sehebat itu !! Aku lelah harus memenuhi harapan yang sejujurnya menyiksaku. Please, biarkan aku berkembang seperti mauku. Ijinkan aku menghirup napas barang sedetik. Biarlah kulepaskan belenggu yang menjeratku selama ini.
 Aku mencintai DIMENSI lebih dari yang kalian kira. Sakit hati ini ketika kadar cintaku ditakar dengan keikutsertaanku pada satu hal yang kurasa tak sebanding dengan pengorbananku selama ini.
Pengorbanan selama hampir dua tahun diukur dengan keikutsertaan dalam kegiatan selama 3 hari itu !! Bah ! Aturan macam mana itu !
Aku punya cara sendiri dalam mencintai DIMENSI. Aku punya segudang amunisi yang siap kumuntahkan. Anak panahku juga sedang kuasah tajam demi mencapai target bidikan. Jadi jangan pernah ukur kadar cintaku dengan apapun itu !! 

Kamis, 29 September 2011

Saya bukan Kerr dan dia bukan Gie

250610

Waktu itu saya tengah asyik ngobrolin cerita horor sama teman-teman pengurus baru Dimensi (Dims) ketika tiba-tiba saya terserang rindu yang teramat sangat pada Haris. Bukan perasaan yang luar biasa memang. Malam itu ada PU Dims 2010-2011, Firdaus Setio N. (Idosh), Pimred baru Milla Himatuz Zahra (Milla), Soeryono (Soer) dan David Esap (Ceti). Kami ngobrol santai di undakan tangga hall Dims, sebutan baru kami untuk hall BEM. Ya, sudah sepekan lebih kantor Dims “terpaksa” pindah ke kantor BEM lama di hall BEM.

“Soer, kalo ketemu mas Haris bilang aku kangen sama dia.” Saya berkata pada Soer yang lagi asyik maenan laptop. Dia senyum-senyum. “Wah, mas Haris kayaknya ngga mikirin soal cewek, mbak.” Belum sempat aku ngomong, Milla udah nyembur. “Wah, kalau kamu mikir gitu, berarti kamu belum ngerti Soer.” Saya ikutan senyum. “Iya, mindset kamu harus diubah Soer, aku ngga nafsu sama Haris. Dia kan tomboy. Hahaha…”

Tiba-tiba Milla menyodok lengan saya sambil berbisik. “Kamu beneran kangen mbak?” Saya hanya mengangguk mengiyakan. “Kalau gitu kamu kayak Kerr.”

 “Siapa Kerr?” Saya belum pernah dengar nama itu sebelumnya.

“Dia temen wanita Soe Hok-Gie yang nulis surat buat Gie. Aku punya kok kumpulan suratnya, besok aku pinjemin. Dulu aku mau nulis itu di Facebook, buat kamu sama mas Haris, tapi ngga jadi.”

Saya jadi penasaran dengan isi surat-surat Kerr buat Gie. Apakah sama dengan yang saya rasakan pada Haris? Bagaimana hubungan mereka? Sahabat, pacar atau hanya kenal nama doank? Apa Kerr juga bersiteru dengan Gie seperti perang dingin saya dengan Haris? Pertanyaan itu terus muncul dalam perjalanan pulang ke rumah. Berhubung Milla masih terbawa suasana horor saat ngobrol hantu-hantuan di kampus tadi, dia pulang bareng saya. Malam itu juga saya pinjam buku kumpulan surat Kerr yang ternyata adalah buku Soe Hok-Gie …Sekali Lagi-nya Rudi Badil, dkk. Buku yang sama yang dulu saya informasikan pada Haris, tapi ternyata dia sudah punya duluan.

Saya baca buku setebal 512 halaman itu setiap malam. Entah kenapa, setiap saya merasa rindu pada kawan satu itu, saya selalu mendengarkan lagu dan membaca tulisan tentang Soe Hok-Gie. Sudah rahasia umum kalau Haris itu mengidolakan Gie dan keduanya nyaris serupa. Hanya saja Gie sudah tiada 40 tahun yang lalu, sedangkan teman saya ini masih sehat walafiat di usianya yang genap 22 tahun 10 Agustus 2010 nanti.

Setelah membaca surat-surat Kerr, memang ada beberapa kemiripan hubungan Kerr-Gie dengan saya dan Haris. Sama-sama berkawan tentunya. Gie yang mengenalkan Kerr pada kehidupan organisasi kampus beserta para aktivisnya. Sama seperti yang dilakukan Haris. Saya yang mulanya hanya iseng-iseng gabung di Dims, akhirnya menemukan motivasi tersendiri di dalamnya. Tidak hanya sekedar menulis cerpen cinta-cintaan atau jadi tim penggembira dalam event Dims.

Saya mulai menemukan sebagian jati diri ketika bersamanya. Menulis yang membawa perubahan bukan sekedar pamer nama dan foto diri. Saya mulai concern untuk terjun di dunia jurnalisme. Saya belajar tentang manajemen media, khususnya bidang penerbitan. Saya selalu haus pengetahuan tentang jurnalisme dan seluk beluknya. Haris salah seorang yang mengobati dahaga saya. Walaupun akhirnya saya lebih ngerti sedikit tentang pers ketimbang dia, tapi saya masih meminjam spiritnya dalam berkarya.

Kegiatan meminjam spirit itulah yang akhirnya menimbulkan ketergantungan saya terhadap Haris. Saya yang waktu itu menjabat sebagai Pemimpin Redaksi, masih membutuhkan pemantik untuk menyalakan obor dalam pilar Redaksi yang saya pimpin. 

..bersambung.